Bahkan, saat Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU BHP tersebut pada 31 Maret 2010 karena dinilai inkonstitusional, masih saja banyak kalangan pendidikan pro dan kontra terhadap putusan MK tersebut. MK menilai, UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP melanggar UUD 1945 terutama Pasal 28 D Ayat 1 yang menyatakan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama. UU BHP juga bertentangan dengan Pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Setidaknya, ada beberapa alasan MK mencabut UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP di antaranya banyak kelemahan baik secara yuridis, kejelasan maksud maupun keselarasan dengan UU lain. UU BHP tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sejumlah aktivis mahasiswa di Universitas Jember (Unej) menyambut gembira keputusan MK yang telah membatalkan UU BHP yang dinilai kalangan mahasiswa merupakan sebuah produk hukum komersialisasi kampus dan liberalisasi pendidikan.
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jember mendukung keputusan MK yang menyatakan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945. "Mahasiswa bangga kepada MK yang melakukan langkah yang tepat untuk membatalkan UU BHP itu," kata Ketua PMII Jember, Abdurahman Bin Auf. Ia menilai, UU BHP sangat memberatkan bagi mahasiswa yang tidak mampu, padahal masyarakat miskin berhak mendapatkan pendidikan yang layak hingga perguruan tinggi. "Seluruh aktivis PMII menolak diberlakukannya UU BHP. Alhamdulillah perjuangan aktivis mahasiswa tidak sia-sia karena MK mengabulkan permohonan itu," ujarnya. Putusan MK tersebut, harus dipatuhi semua pihak dan UU BHP dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang terlanjur melaksanakan UU BHP harus ditinjau lagi karena UU tersebut merugikan masyarakat, tutur mahasiswa Fakultas Sastra Unej ini. Saat ini, sebanyak tujuh PTN berstatus Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN), yakni Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjahmada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan Universitas Airlangga (Unair).
Sementara sebanyak 20 PTN lainnya berstatus badan layanan umum (BLU), dan 83 PTN biasa. Menurut mahasiswa jurusan Sastra Inggris ini, putusan MK tersebut semakin membuka ruang pendidikan bagi seluruh masyarakat
Meski UU BHP dibatalkan, kata dia, praktik otonomi kampus yang bersifat memberatkan mahasiswa masih akan tetap berlangsung dan hal tersebut harus dicegah oleh semua pihak. Untuk itu, mahasiswa mendesak pemerintah mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat, khususnya masyarakat miskin dalam hal pemenuhan hak pendidikan. "Saya berharap, tidak ada diskriminasi terhadap masyarakat miskin yang ingin mendapatkan hak-haknya untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik," ucapnya tegas. UUD 1945 telah menempatkan pendidikan sebagai salah satu hak asasi manusia. Untuk itu, negara terutama pemerintah bertanggung jawab dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhannya. Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jember, Andi Wasis juga bersyukur dengan batalnya UU BHP di Indonesia, sehingga semua masyarakat kalangan menengah ke bawah bisa menikmati pendidikan di PTN. "Sejauh ini, PTN berstatus hukum BHMN mengelola anggaran secara otonom dan memberlakukan biaya pendidikan yang mahal, sehingga hanya masyarakat mampu dan kaya yang dapat kuliah di
Banyak PTN BHMN berdalih sudah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen untuk mahasiswa berprestasi yang tidak mampu, namun hal tersebut tidak merata. Jumlah mahasiswa kurang mampu yang tidak berprestasi jauh lebih banyak.
Kecewa
Pembantu Rektor II Universitas Jember, Dr Ir Jani Januar, MT menyayangkan pembatalan UU BHP oleh MK, sehingga PTN tidak bisa berdiri secara mandiri dan memiliki otonomi yang luas untuk mengelola keuangan. "Saya kecewa dengan putusan MK yang membatalkan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP, padahal sejumlah PTN sudah berancang-ancang menjadi Perguruan Tinggi berstatus BHMN," tutur Jani. Ia mengemukakan, selama ini banyak pihak yang salah mempersepsikan tentang UU BHP, sehingga opini penolakan terhadap UU BHP sangat kuat di kalangan pendidikan dan masyarakat. "Sebenarnya, UU BHP merupakan sebuah produk hukum untuk mengubah pengelolaan pendidikan di
Universitas Jember, lanjut dia, sudah mempersiapkan sejumlah sarana penunjang menuju PTN BHMN sejak tahun 2008. Bahkan persiapannya sudah mencapai 80 persen. "Rencananya Universitas Jember akan mengubah statusnya dari PTN biasa menjadi PT BHMN pada tahun ini. Namun, putusan MK justru membatalkan UU BHP" katanya. Universitas Jember, kata dia, akan mematuhi putusan MK dan tidak akan melangkah lebih jauh untuk meneruskan menjadi PT BHMN. "Kami masih menunggu kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) lebih lanjut terkait pembatalan UU BHP tersebut. Namun, semangat otonomi dan peningkatan kualitas pendidikan tetap dilaksanakan," katanya. Universitas Jember memiliki 15 fakultas dan 54 program studi, dengan jumlah mahasiswa sebanyak 22 ribu orang. "Sebenarnya kami ingin meningkatkan kualitas pendidikan di universitas yang terletak di ujung timur Pulau Jawa ini melalui otonomi kampus, namun hal itu terhambat dengan pembatalan UU BHP" katanya. Pengamat pendidikan dari Universitas Jember, Drs Sulthon Mpd mengatakan, banyak pihak yang salah menilai terhadap UU BHP, sehingga sejak awal UU BHP digulirkan mendapat arus penolakan yang cukup kuat.
Kendati demikian, pembatalan undang-undang tentang BHP oleh Mahkamah Konstitusi tidak berdampak pada tata kelola PTN dan PT BHMN karena masih ada peraturan pemerintah (PP). Pengelolaan PTN dan PT BHMN mengacu pada PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. PP itu mengacu kepada UU Sistem Pendidikan Nasional, kata dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Jember ini. Pencabutan UU BHP tersebut, kata dia, mengembalikan tanggung jawab pendidikan harus mendapatkan porsi anggaran yang besar dari pemerintah. Negara wajib mengalokasikan anggaran yang besar untuk PTN demi terciptanya generasi penerus bangsa yang berkualitas. Pemerintah punya tanggung jawab untuk menyelenggarakan pendidikan yang merata bagi semua lapisan masyarakat. Pemerintah juga harus membuat regulasi untuk sejumlah PTN yang statusnya sudah berubah menjadi PT BHMN, supaya pengelolaan pendidikan di sejumlah perguruan tinggi bergengsi tersebut tidak bertentangan dengan aturan. "Sejumlah PT BHMN harus dikaji ulang dan pemerintah harus menjamin keberlangsungan tujuh PTN yang berstatus BHMN itu pascapembatalan UU BHP," tuturnya.
Anggota Komisi D DPRD Jember, Hafidi, mengatakan, kualitas pendidikan di
"Pemerintah harus lebih sungguh-sungguh lagi mengelola masa depan pendidikan tinggi di negeri ini, supaya bangsa
Sumber: Kompas
No comments:
Post a Comment