SELAMAT DATANG DI ALUMNI SMPN 1 KEDUNGADEM

Friday, April 9, 2010

UU BHP Dibatalkan Belum Jamin Pendidikan Murah

Sejak digulirkan, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) selalu menuai pro dan kontra dari sejumlah kalangan, khususnya kalangan pendidikan.

Bahkan, saat Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU BHP tersebut pada 31 Maret 2010 karena dinilai inkonstitusional, masih saja banyak kalangan pendidikan pro dan kontra terhadap putusan MK tersebut. MK menilai, UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP melanggar UUD 1945 terutama Pasal 28 D Ayat 1 yang menyatakan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama. UU BHP juga bertentangan dengan Pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Setidaknya, ada beberapa alasan MK mencabut UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP di antaranya banyak kelemahan baik secara yuridis, kejelasan maksud maupun keselarasan dengan UU lain. UU BHP tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sejumlah aktivis mahasiswa di Universitas Jember (Unej) menyambut gembira keputusan MK yang telah membatalkan UU BHP yang dinilai kalangan mahasiswa merupakan sebuah produk hukum komersialisasi kampus dan liberalisasi pendidikan.

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jember mendukung keputusan MK yang menyatakan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945. "Mahasiswa bangga kepada MK yang melakukan langkah yang tepat untuk membatalkan UU BHP itu," kata Ketua PMII Jember, Abdurahman Bin Auf. Ia menilai, UU BHP sangat memberatkan bagi mahasiswa yang tidak mampu, padahal masyarakat miskin berhak mendapatkan pendidikan yang layak hingga perguruan tinggi. "Seluruh aktivis PMII menolak diberlakukannya UU BHP. Alhamdulillah perjuangan aktivis mahasiswa tidak sia-sia karena MK mengabulkan permohonan itu," ujarnya. Putusan MK tersebut, harus dipatuhi semua pihak dan UU BHP dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang terlanjur melaksanakan UU BHP harus ditinjau lagi karena UU tersebut merugikan masyarakat, tutur mahasiswa Fakultas Sastra Unej ini. Saat ini, sebanyak tujuh PTN berstatus Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN), yakni Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjahmada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan Universitas Airlangga (Unair).

Sementara sebanyak 20 PTN lainnya berstatus badan layanan umum (BLU), dan 83 PTN biasa. Menurut mahasiswa jurusan Sastra Inggris ini, putusan MK tersebut semakin membuka ruang pendidikan bagi seluruh masyarakat Indonesia, tanpa terkecuali dan pemerintah memiliki peranan yang besar di dunia pendidikan. "Pendidikan merupakan alat bagi bangsa dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas dan berkepribadian. Kemajuan sebuah bangsa akan ditentukan dengan pendidikan berkualitas generasi penerus bangsa," paparnya. Keputusan MK tersebut, juga mengindikasikan negara sebagai pembuat dan pengontrol kebijakan belum cukup memberikan perlindungan terhadap ekspansi kapitalisme global ke dunia pendidikan. "Produk perundang-undangan pendidikan seperti UU BHP semestinya bersifat melindungi untuk pemerataan pendidikan bagi semua warga negara tanpa diskriminasi, namun malah sebaliknya," katanya. Kendati demikian, lanjut dia, pembatalan UU BHP tidak serta merta berimplikasi terhadap biaya pendidikan yang murah karena selama ini biaya pendidikan di PTN sudah mahal. "Bukan jaminan pembatalan UU BHP akan berdampak bagi biaya pendidikan PTN yang murah, selalu ada celah bagi PTN untuk memungut biaya pendidikan dari masyarakat," ucapnya menegaskan.

Meski UU BHP dibatalkan, kata dia, praktik otonomi kampus yang bersifat memberatkan mahasiswa masih akan tetap berlangsung dan hal tersebut harus dicegah oleh semua pihak. Untuk itu, mahasiswa mendesak pemerintah mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat, khususnya masyarakat miskin dalam hal pemenuhan hak pendidikan. "Saya berharap, tidak ada diskriminasi terhadap masyarakat miskin yang ingin mendapatkan hak-haknya untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik," ucapnya tegas. UUD 1945 telah menempatkan pendidikan sebagai salah satu hak asasi manusia. Untuk itu, negara terutama pemerintah bertanggung jawab dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhannya. Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jember, Andi Wasis juga bersyukur dengan batalnya UU BHP di Indonesia, sehingga semua masyarakat kalangan menengah ke bawah bisa menikmati pendidikan di PTN. "Sejauh ini, PTN berstatus hukum BHMN mengelola anggaran secara otonom dan memberlakukan biaya pendidikan yang mahal, sehingga hanya masyarakat mampu dan kaya yang dapat kuliah di sana," kata Andi. Menurut dia, UU BHP mendapat kecaman banyak kalangan karena hal itu dianggap sebagai upaya lepas tangan pemerintah dalam pembiayaan pendidikan. "Pemerintah dapat secara legal memberikan kewenangan kepada institusi pendidikan untuk mengelola dana secara otonom, dampaknya PT BHMN membuka jalur khusus masuk perguruan tinggi dengan biaya mahal," paparnya.

Banyak PTN BHMN berdalih sudah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen untuk mahasiswa berprestasi yang tidak mampu, namun hal tersebut tidak merata. Jumlah mahasiswa kurang mampu yang tidak berprestasi jauh lebih banyak. Ada kekhawatiran masyarakat miskin yang prestasinya biasa-biasa saja tidak bisa menikmati pendidikan di PTN, apabila UU BHP diterapkan, ujarnya. Pendidikan merupakan hak warga negara yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Berubahnya bentuk institusi pendidikan menjadi badan hukum akan mengeliminasi penjaminan negara terhadap masyarakat dalam memperoleh pendidikan, salah satunya dari sisi aksesibilitas. Masyarakat miskin sulit untuk mendapatkan akses pendidikan yang layak, apabila pendidikan di PTN mahal. Ini bertentangan dengan semangat dan tujuan pendidikan untuk mencerdaskan bangsa. Ia berharap, PTN tidak menggunakan payung hukum lain untuk menarik pungutan yang besar terhadap masyarakat, pascapembatalan UU BHP. "Kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh UU BHP, sehingga semua pihak harus bisa memahami bahwa kualitas pendidikan harus ditingkatkan, tanpa membebani masyarakat dengan biaya tinggi," tuturnya.


Kecewa

Pembantu Rektor II Universitas Jember, Dr Ir Jani Januar, MT menyayangkan pembatalan UU BHP oleh MK, sehingga PTN tidak bisa berdiri secara mandiri dan memiliki otonomi yang luas untuk mengelola keuangan. "Saya kecewa dengan putusan MK yang membatalkan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP, padahal sejumlah PTN sudah berancang-ancang menjadi Perguruan Tinggi berstatus BHMN," tutur Jani. Ia mengemukakan, selama ini banyak pihak yang salah mempersepsikan tentang UU BHP, sehingga opini penolakan terhadap UU BHP sangat kuat di kalangan pendidikan dan masyarakat. "Sebenarnya, UU BHP merupakan sebuah produk hukum untuk mengubah pengelolaan pendidikan di Indonesia menuju ke arah lebih baik," ujar dosen Fakultas Pertanian ini. Banyak pihak yang khawatir UU BHP berdampak pada komersialisasi pendidikan, padahal kekhawatiran itu kurang tepat. "Dalam UU itu, penyelenggara tidak boleh mendanai pendidikan dengan menarik uang kepada masyarakat (peserta didik) lebih dari 30 persen atau sepertiga jumlah seluruh dana pengoperasian pendidikan," katanya menjelaskan. Mahasiswa yang kurang mampu, justru mendapat alokasi anggaran sebanyak 20 persen dari dana itu, sehingga akses masyarakat miskin untuk menikmati pendidikan terbuka lebar. "Banyak yang salah mempersepsikan UU BHP yang akan mengebiri hak-hak pendidikan masyarakat miskin, padahal dalam UU tersebut ada jaminan untuk pendidikan mahasiswa yang kurang mampu," ucapnya. Menurut dia, pasal 46 UU BHP secara tegas menyatakan bahwa BHP wajib menjaring mahasiswa yang pandai tapi kurang mampu minimal 20 persen. "UU BHP merupakan upaya untuk mengejar ketertinggalan pendidikan di Indonesia supaya tidak terlalu jauh dengan negara-negara lain, terutama negara tetangga.

Universitas Jember, lanjut dia, sudah mempersiapkan sejumlah sarana penunjang menuju PTN BHMN sejak tahun 2008. Bahkan persiapannya sudah mencapai 80 persen. "Rencananya Universitas Jember akan mengubah statusnya dari PTN biasa menjadi PT BHMN pada tahun ini. Namun, putusan MK justru membatalkan UU BHP" katanya. Universitas Jember, kata dia, akan mematuhi putusan MK dan tidak akan melangkah lebih jauh untuk meneruskan menjadi PT BHMN. "Kami masih menunggu kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) lebih lanjut terkait pembatalan UU BHP tersebut. Namun, semangat otonomi dan peningkatan kualitas pendidikan tetap dilaksanakan," katanya. Universitas Jember memiliki 15 fakultas dan 54 program studi, dengan jumlah mahasiswa sebanyak 22 ribu orang. "Sebenarnya kami ingin meningkatkan kualitas pendidikan di universitas yang terletak di ujung timur Pulau Jawa ini melalui otonomi kampus, namun hal itu terhambat dengan pembatalan UU BHP" katanya. Pengamat pendidikan dari Universitas Jember, Drs Sulthon Mpd mengatakan, banyak pihak yang salah menilai terhadap UU BHP, sehingga sejak awal UU BHP digulirkan mendapat arus penolakan yang cukup kuat.

Kendati demikian, pembatalan undang-undang tentang BHP oleh Mahkamah Konstitusi tidak berdampak pada tata kelola PTN dan PT BHMN karena masih ada peraturan pemerintah (PP). Pengelolaan PTN dan PT BHMN mengacu pada PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. PP itu mengacu kepada UU Sistem Pendidikan Nasional, kata dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Jember ini. Pencabutan UU BHP tersebut, kata dia, mengembalikan tanggung jawab pendidikan harus mendapatkan porsi anggaran yang besar dari pemerintah. Negara wajib mengalokasikan anggaran yang besar untuk PTN demi terciptanya generasi penerus bangsa yang berkualitas. Pemerintah punya tanggung jawab untuk menyelenggarakan pendidikan yang merata bagi semua lapisan masyarakat. Pemerintah juga harus membuat regulasi untuk sejumlah PTN yang statusnya sudah berubah menjadi PT BHMN, supaya pengelolaan pendidikan di sejumlah perguruan tinggi bergengsi tersebut tidak bertentangan dengan aturan. "Sejumlah PT BHMN harus dikaji ulang dan pemerintah harus menjamin keberlangsungan tujuh PTN yang berstatus BHMN itu pascapembatalan UU BHP," tuturnya.

Anggota Komisi D DPRD Jember, Hafidi, mengatakan, kualitas pendidikan di Indonesia harus ditingkatkan dan tidak boleh tertinggal jauh dengan negara lain. "Seharusnya pemerintah memberikan perhatian yang besar terhadap kemajuan pendidikan, tanpa membebani masyarakat dengan mahalnya biaya pendidikan," katanya. Keputusan MK membatalkan UU BHP, merupakan angin segar bagi masyarakat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi. "Saya pikir, kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh UU BHP. Keputusan MK harus menyadarkan semua pihak bahwa pendidikan harus mendapat perhatian utama untuk mewujudkan bangsa yang berkualitas," ucap politisi Partai Kebankitan Bangsa (PKB) ini. Ia menjelaskan, kewajiban negara memberikan pendidikan yang sama dan merata kepada semua lapisan masyarakat, tanpa membeda-bedakan antara si kaya dan si miskin.

"Pemerintah harus lebih sungguh-sungguh lagi mengelola masa depan pendidikan tinggi di negeri ini, supaya bangsa Indonesia tidak dipandang sebelah mata oleh negara lain. Saya yakin Indonesia bisa mewujudkannya," ucapnya tegas. Selama ini mahasiswa dikenal dengan "agent of change" dalam menentukan nasib masa depan bangsa ke arah yang lebih baik. Sudah selayaknya mahasiswa diberi kemudahan dalam proses belajar di kampus, khususnya mereka yang kurang mampu.

Sumber: Kompas

No comments:

Post a Comment

Followers