SELAMAT DATANG DI ALUMNI SMPN 1 KEDUNGADEM

Thursday, October 28, 2010

Unesa Buka Jurusan Bahasa Mandarin Untuk Jadi Guru

Surabaya (ANTARA News) - Universitas Negeri Surabaya (Unesa) telah membuka Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin guna mencetak guru bahasa asing itu. "Mulai tahun ini, kami sudah menerima mahasiswa baru Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin melalui jalur mandiri," kata Rektor Unesa Prof Muchlas Samani di Surabaya, Rabu. Ia mengemukakan hal itu setelah melantik empat pembantu rektor (PR) yakni Prof Dr Kisyani MHum (PR I/akademik/FBS), Dr Purwohandoko MM (PR II/administrasi/keuangan/kepegawaian/FE), Prof Dr Warsono MS (PR III/kemahasiswaan/FIS), dan Prof Dr Nur Hasan MKes (PR IV/kerja sama/FIK). "China itu sudah menjadi raksasa dunia yang baru, sehingga faktor bahasa akan ikut. Karena itu bila banyak orang belajar bahasa itu, maka kami menyiapkan gurunya," katanya. Apalagi, pihaknya sudah menerima bantuan dua dosen Bahasa Mandarin dari Universitas Keguruan Chang Hua di China. "Yang jelas, kami akan bergerak ke universitas riset dengan memperbanyak S2 dan S3, namun arahnya tetap ke bidang kependidikan sebagai ciri khas Unesa," katanya. Jurusan baru yang diorientasikan ke bidang pendidikan antara lain Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin dan juga Jurusan Pendidikan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). "Nantinya, PR 4 yang akan menjadi komando dari pengembangan kerja sama dengan universitas asing, seperti double degree S2 dengan Universitas Monash, dan sebagainya," katanya. Namun, katanya, bila ada jurusan yang akhirnya kekurangan peminat akan tetap dibuka dengan diarahkan pada penelitian (riset), bukan pendidikan. "Tapi, internasionalisasi yang dilakukan Unesa bukan hanya mahasiswa atau dosen asing yang belajar atau mengajar di Unesa, namun mahasiswa atau dosen Unesa juga akan belajar dan mengajar di universitas asing," katanya. Tahun ini, delapan mahasiswa asing memulai studi di Unesa, di antaranya mahasiswa asing dari Iran, Yugoslavia, Polandia, dan sebagainya. (E011/K004)

Sumber: Antara, Rabu, 27 Oktober 2010

Friday, October 22, 2010

Pengubah Huruf Latin Menjadi Braille

Oleh: Nawa Tunggal

KOMPAS.com - MLM for The Blind dirancang bagi penyandang tunanetra oleh para peneliti Universitas Bina Nusantara, Jakarta. Alatnya ringan dijinjing dengan kemampuan sulih huruf Latin ke huruf braille dengan keistimewaan sumber referensinya bisa ribuan judul buku dari e-book. MLM singkatan dari my learning module. MLM for The Blind adalah mesin atau alat baca bagi para penyandang kebutuhan khusus mata kurang awas. Mesin berbobot tidak lebih dari 3 kilogram itu hasil pengembangan teknologi informatika sebelumnya. Dekan Fakultas Ilmu Komputer Universitas Bina Nusantara Sablin Yusuf, Kamis (14/10/2010), mengatakan, ”Pada tahun 2004 telah diciptakan peranti lunak komputer untuk pencetakan dengan huruf braille.” Menurut Sablin, saat itu para perisetnya bekerja sama dengan Yayasan Mitra Netra. Yayasan itu memiliki printer khusus dengan huruf braille. Mesin pencetak braille tergolong langka di pasaran. Waktu itu teknologinya tidak dilengkapi dengan software (peranti lunak) yang mudah diaplikasikan. ”Kami berhasil mengembangkan peranti lunak untuk pencetakan braille dengan mesin cetak tersebut,” kata Sablin. Pencetakan teks braille memakan tempat. Dari satu halaman artikel dengan huruf Latin, jika disulih dengan huruf braille akan memakan kertas dengan ukuran yang sama minimal tiga halaman. Kertas untuk teks braille juga harus relatif lebih tebal. Ini supaya bolong-bolong kertasnya (sesuai karakter braille) mudah diraba ketika dibaca serta lebih awet. Teks braille memang menjadikan boros kertas. Pemikiran ini mendasari pengembangan MLM for The Blind. Pada 2008 mulailah dikembangkan rekayasa MLM for The Blind ini dan diselesaikan pada 2009. Pada tahun yang sama, MLM for The Blind sempat diikutkan ke dalam kompetisi Indonesia Information and Communication Technology Award (INAICTA) dan menjadi juara ketiga. Berikutnya, pada tahun yang sama diikutkan pada kompetisi yang berskala lebih tinggi, yaitu Asia Pasific Information and Communication Technology Alliance Award (APICTA) di Melbourne, Australia, dan mampu menyabet juara kedua. ”Sekarang pemerintah memberi hibah Rp 19.750.000 untuk mengurus paten teknologi ini,” kata Ketua Jurusan Sistem Komputer pada Fakultas Ilmu Komputer Universitas Bina Nusantara Wiedjaja Atmadja. Wiedjaja mengatakan, MLM for The Blind harus dimanfaatkan perpustakaan-perpustakaan besar. Museum-museum tentu pula membutuhkan teknologi ini untuk meningkatkan akses layanan informasi bagi para tunanetra.

Lebih kentara

Membandingkan antara teks braille pada kertas dan huruf braille pada MLM for The Blind jelas berbeda. Pada MLM for The Blind jauh lebih kentara. Titik-titik simpul membentuk huruf braille pada MLM for The Blind menyembul pada panelnya. Sembulan titik-titiknya kuat menonjol sehingga mudah teraba. Panel khusus itu disebut braille display yang tersusun dari sel-sel braille dan idealnya berisi 40 sel huruf braille dalam satu deret. Namun, dengan 20 sel braille juga sudah mencukupi. Koordinator Laboratorium Hardware Fakultas Ilmu Komputer Universitas Bina Nusantara Rico Wijaya menjelaskan, MLM for The Blind menggunakan sumber listrik baterai 6 kali 1,5 Volt. Tenaga listrik ini untuk menjalankan controller saat membaca data e-book (buku virtual atau buku digital). Data e-book disimpan ke dalam kartu memori tipe MMC atau SD dengan daya tampung maksimal 2 gigabit. ”Memori 2 megabit bisa menampung lebih dari 1.000 judul buku digital,” kata Wiedjaja. Controller menjadi komputer mikro bagi MLM for The Blind. Controller memiliki cip yang menyimpan mekanisme kerja komputer berukuran mini. Sebelum cip itu ditanam, dimasukkan terlebih dahulu peranti lunak penyulih huruf Latin menjadi huruf braille dengan salah satu bahasa pemrograman komputer, yaitu Bahasa C. Bahasa C, menurut Wiedjaja, tergolong paling populer. Dengan bahasa komputer ini disusun sistem perintah pengubahan huruf Latin menjadi huruf braille. Tingkat terendah Rico mengatakan, penggunaan huruf braille memiliki tingkatan. Setidaknya, dibagi menjadi tingkatan terendah (0), sedang (1), dan paling atas (2). ”Rancangan MLM for The Blind saat ini masih pada tingkatan terendah atau nol,” kata Rico.

Tingkat terendah itu dengan kemampuan mengeja kata dengan satu per satu huruf. Satu kata dengan empat huruf, misalnya, akan dieja menjadi empat huruf braille. Pada tingkatan berikutnya, penyulihan kata dengan suatu singkatan atau simbol tertentu. Satu kata dengan empat huruf, misalnya, dapat dinyatakan hanya dengan satu atau dua huruf braille saja. Seperti ketika orang menuliskan kata ”yang”, bisa cukup ditulis dengan ”yg”. Pada tingkatan berikutnya, memungkinkan kata-kata kunci dapat disulih ke dalam huruf braille lebih singkat. ”Pengembangan itu membantu untuk membaca cepat dengan huruf braille,” kata Rico. Rico mengatakan, pembuatan MLM for The Blind skala laboratorium sekarang ini masih relatif mahal. Harga paling mahal pada komponen sel braille. Menurut Rico, satu sel braille mencapai Rp 700.000. Padahal, untuk satu perangkat MLM for The Blind dibutuhkan antara 20 dan 40 sel braille. Komponen lain berupa sistem controller dan kartu memori. Hitungan biaya untuk membuat satu MLM for The Blind antara Rp 25 juta dan Rp 30 juta. Menurut Wiedjaja, jika diproduksi secara massal, seharusnya jauh lebih murah. Pemerintah pun sudah mendorong melalui pemberian insentif untuk pengurusan paten sehingga diharapkan industri mau meliriknya. ”Sekarang baru diajukan perolehan patennya. Diambil tipe hak paten sederhana karena temuan teknologi ini merupakan perakitan komponen-komponen yang telah ada di pasaran,” kata Wiedjaja. Sumbangan karya para peneliti di Universitas Bina Nusantara ini memiliki kontribusi besar bagi para penyandang tunanetra. Inovasi teknologi yang jelas-jelas dibutuhkan ini menjadi ujian baru bagi industri untuk berani memproduksinya secara massal.

Sumber: Kompas.com, 22-10-2010

Wednesday, October 20, 2010

Mereka yang Dibutuhkan Negeri Ini...

KOMPAS.com — Hidup di Singapura, bekerja di perusahaan multinasional dengan gaji besar, ternyata bukan akhir cita-cita Ayu Kartika Dewi. Begitu ada kesempatan menjadi guru sekolah dasar di daerah terpencil, berbagai fasilitas perusahaan yang sudah dinikmati di Singapura langsung ditinggalkannya. ”Ini kesempatan yang ditunggu-tunggu,” kata lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, Surabaya, ini bersemangat, ketika mengetahui akan menjadi guru sekolah dasar dan ditempatkan di daerah terpencil di Kabupaten Halmahera Selatan.

Ketika tahu untuk mencapai Halmahera Selatan butuh waktu delapan jam menggunakan kapal laut dari Ternate, semangatnya tak surut, bahkan makin berapi-api. ”Buku harian saya tidak akan monoton, sekolah, kuliah, lalu bekerja, tetapi penuh warna. Saya bisa merasakan hidup di daerah terpencil,” kata Ayu, yang tak sabar ingin segera berangkat ke tempat penugasan. Lain lagi dengan Erwin Puspaningtyas Irjayanti (24). Lulusan Institut Pertanian Bogor yang sudah bekerja di sebuah bank terkemuka di Jakarta dengan gaji sangat memadai ini rela meninggalkan pekerjaannya untuk mengabdi menjadi guru sekolah dasar nun jauh di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. ”Ini kesempatan emas berbuat untuk negeri sekaligus memenuhi panggilan hati,” kata wanita penulis novel terlaris The Sacred Romance of King Sulaiman & Queen Sheba (1986) yang diterbitkan PT Mizan ini bersemangat. Semangat serupa dipancarkan Rahman Adi Pradana (24). Peraih dua gelar kesarjanaan, Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung dan lulusan cum laude Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran Bandung, ini rela meninggalkan pekerjaannya di sebuah perusahaan multinasional di Jakarta dan bertugas menjadi guru sekolah dasar di Halmahera Selatan. Orangtuanya sempat kaget. Namun, setelah diyakinkan bahwa ia ingin memberikan sesuatu yang terbaik untuk negerinya, Indonesia, orangtuanya mendukung langkah Adi. ”Negeri ini sudah sangat baik. Saatnya memberikan sesuatu untuk negeri yang saya cintai,” kata Adi.

Generasi pilihan

Menjadi guru sekolah dasar di daerah terpencil atau menjadi Pengajar Muda merupakan program dari ”Indonesia Mengajar” yang digagas Anies Baswedan yang juga Rektor Universitas Paramadina, Jakarta. Ide dasarnya, masih banyak sekolah dasar di daerah terpencil yang dibimbing guru-guru kualitasnya tidak sesuai dengan standar. ”Jika kondisi ini terus dibiarkan, Indonesia sulit maju,” kata Anies Baswedan. Setelah berdiskusi dengan banyak kalangan, akhirnya dibentuklah gerakan Indonesia Mengajar yang mencari generasi muda terbaik untuk menjadi guru SD di daerah terpencil. ”Gerakan Indonesia mengajar hanya menempatkan guru di daerah terpencil selama satu tahun,” kata Anies. Selama bertugas, mereka akan mendapat uang saku Rp 3,2 juta sampai Rp 4,8 juta per bulan, tergantung dari daerah tugas. Setelah gerakan ini dipublikasikan, ternyata responsnya luar biasa. Meskipun persyaratannya cukup ketat, seperti indeks prestasi kumulatif (IPK) minimal 3, berusia di bawah 25 tahun, dan berbagai persyaratan lain, tercatat 1.383 orang mendaftar. Mereka merupakan lulusan-lulusan terbaik dari berbagai perguruan tinggi. Setelah diseleksi ketat, terpilih 160 orang. Kemudian diseleksi lagi sehingga terpilih 51 sarjana berkualitas terbaik yang akan ditempatkan di lima daerah terpencil, yakni di Kabupaten Halmahera Selatan (Maluku Utara), Kabupaten Paser (Kalimantan Timur), Kabupaten Bengkalis (Riau), Kabupaten Majene (Sulawesi Barat), dan Kabupaten Tulang Bawang Barat (Lampung). Bukan di ibu kota kabupaten, justru semuanya ditempatkan di daerah-daerah terisolasi yang sarana transportasinya sangat sulit, listrik terbatas, dan tidak ada sinyal telepon, apalagi internet.

Agar tidak kaget saat ditempatkan di daerah terisolasi, para Pengajar Muda diberikan pelatihan selama tujuh minggu, termasuk cara mengajar, kurikulum pengajaran, ekstrakurikuler, sampai menjaga kesehatan di daerah terpencil. Saat pelatihan di asrama, listrik pun dimatikan setelah pukul 22.00 dan telepon seluler disimpan panitia. ”Pelatihan ini sebagai persiapan agar tidak kaget ketika bertugas di tempat yang sesungguhnya,” kata Mutia Hapsari, lulusan Antropologi Universitas Indonesia. Meski tahu akan ditempatkan di daerah terisolasi, semua peserta sangat antusias. ”Kondisi di tempat tugas sangat menantang. Saya akan tahu kondisi masyarakat Indonesia yang sesungguhnya,” kata Bagus Arya Wirapati (21), lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Mengenal kondisi masyarakat di daerah terpencil memang menjadi salah satu sasaran gerakan ini. Tak sekadar mengenal, mereka juga diharapkan menjadi contoh, memotivasi dan berbagi ilmu dengan anak-anak sekolah dasar. ”Percayalah, prestasi yang kalian raih selama ini akan menjadi idaman anak-anak sekolah dasar di daerah terpencil,” kata Anies. Bagi Pengajar Muda, pengalaman selama tinggal setahun di daerah terpencil juga akan menjadi pengalaman yang melekat seumur hidup. Mereka akan mengetahui denyut nadi masyarakat di daerah pedalaman. Diharapkan setelah mereka kembali ke profesi apa pun yang mereka tekuni, apakah menjadi peneliti, bankir, pengusaha, ataupun politisi, mereka tidak lupa diri. Ada bagian kecil masyarakat Indonesia yang membutuhkan perhatian mereka.

Sumber: Kompas.com, Kamis, 21 Oktober 2010

Tuesday, October 19, 2010

Kemdiknas Belum Buat Keputusan Terkait UN 2011

Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Pendidikan Nasional belum membuat keputusan terkait bentuk pelaksanaan ujian nasional (UN) 2011 serta standar kelulusan yang direkomendasikan Badan Standardisasi Nasional Pendidikan karena masih akan bertemu dengan panitia kerja UN Komisi X DPR RI. "Sebaiknya kita menunggu hasil pertemuan dengan Panja UN Komisi X DPR RI yang berlangsung dalam waktu dekat. Namun dari hasil lokakarya tentang standar kelulusan UN pekan lalu, kesimpulannya satu pendapat, yaitu UN tetap ada tahun depan," kata Mendiknas Mohammad Nuh dalam jumpa pers tentang rapor Kemdiknas selama setahun Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II di Jakarta, Selasa malam. Ia mengatakan, bentuk UN 2011 masih digodok pemerintah dan DPR. Karenanya, sampai saat ini juga belum ada keputusan tentang metode pelaksanaan UN yang akan diterapkan pada 2011. "Metode evaluasi masih menunggu hasil rapat kerja dengan Komisi X DPR, 25 Oktober 2010 mendatang. Agenda rapat kerja tersebut adalah membahas UN. Panja UN dan Balitbang Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) juga membahas konsep UN nanti," katanya. Namun demikian, menurut Mohamamad Nuh perubahan yang sudah valid mengenai UN hanya pada metodologi UN. Sementara mengenai evaluasi UN, masih dalam proses penyelesaian. "Intervensi yang dilakukan Kemdiknas terhadap 100 kabupaten sudah selesai 100 persen.Intervensi yang dilakukan terhadap 100 kabupaten tersebut adalah pemberian bantuan sebesar Rp1 miliar untuk masing-masing kabupaten. Intinya, yang terpenting saat ini adalah semua pihak setuju untuk tetap menggelar UN," katanya.

Sementara itu terkait dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010, Mendiknas meminta perguruan tinggi negeri (PTN) tetap mandiri dalam keuangan. Namun demikian, perguruan tinggi negeri diminta tidak mengandalkan perolehan dana dari biaya kuliah mahasiswa. Ia menyatakan, pemerintah akan mengembangkan cara baru dalam memberikan bantuan ke PTN. Kampus didorong untuk menekan pendapatan dari uang kuliah mahasiswa. "Kampus yang bisa mendapatkan pemasukan yang tinggi dengan memanfaatkan riset, misalnya, akan mendapat insentif dari APBN. Dengan demikian, sumber dana PTN itu mestinya dari usaha kampus, seperti memanfaatkan riset dan dana dari pemerintah. Di bagian lain, Mendiknas menjelaskan sejumlah program Kemdiknas yang sudah melampaui target adalah penyediaan internet bagi 17.500 sekolah di seluruh Indonesia. Sementara, salah satu pekerjaan rumah yang harus dikerjakan Kemdiknas adalah mempersempit disparitas kesempatan belajar siswa di tiap satuan pendidikan. Di tingkat sekolah dasar (SD), dari 31,05 juta siswa, sekira 1,7 persennya putus sekolah dan 18,4 persen tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya.

Pada satuan sekolah menengah pertama (SMP), dari jumlah 12,69 juta siswa, 1,9 persen putus sekolah, dan 30,1 persen di antaranya tidak dapat melanjutkan ke tingkat sekolah menengah atas (SMA). Pada tingkat SMA, jumlah siswa putus sekolah mencapai 4,6 persen dari total 9,11 juta siswa. Pada tingkat SMA juga terjadi jumlah siswa yang tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi (PT) sangat tinggi, yaitu sebanyak 59,8 persen. Sementara, saat ini tercatat 4,66 juta mahasiswa. Dari jumlah ini, 6,31 persennya merupakan mahasiswa dari kalangan ekonomi miskin. "Data ini menunjukkan, sampai saat ini pameo `orang miskin dilarang sekolah`, memang benar-benar terjadi. Karena itu, pemerintah harus menjemput bola, mencari para siswa yang tidak bisa melanjutkan sekolah untuk diberi bantuan, katanya. Pemerintah tidak membiarkan anak-anak miskin berjuang sendirian, tetapi harus ada afirmasi dan campur tangan pemerintah, antara lain melalui berbagai skema beasiswa bidik misi dan bantuan operasional sekolah (BOS), tambahnya. (Z003/K004)

Sumber: Antara, Selasa, 19 Oktober 2010

Tuesday, October 5, 2010

Guru adalah Agen Perdamaian

Guru perlu aktif mempromosikan nilai-nilai kewarganegaraan, perdamaian, dan keberagaman. Sebab, guru mengemban misi menyiapkan generasi penerus bangsa yang bertanggung jawab. Guru juga harus membekali muridnya dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan hidup. Hal itu merupakan bagian dari seruan bersama para pemimpin lembaga internasional untuk memperingati Hari Guru Internasional yang jatuh pada hari Selasa (5/10/2010). Seruan bersama di Jakarta itu datang dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa- Bangsa (UNESCO), Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef), Program Pembangunan PBB (UNDP), Organisasi Buruh Internasional, dan Education International. Para guru berperan untuk membangun harapan bangsa yang ingin memiliki generasi cinta damai dan hidup harmonis dalam keragaman. Sebab, banyak anak-anak saat ini mengalami trauma akibat menyaksikan kekerasan yang ekstrem, mengalami kehancuran rumah, dan kehilangan anggota keluarga. Seruan dunia kepada guru itu, kata Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia Suparman, amat relevan dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini. Guru perlu ikut aktif memulihkan kondisi sosial masyarakat dengan mengampanyekan penghentian segala bentuk kekerasan dan konflik. Di sekolah, guru harus menerapkan sikap antidiskriminasi dan memahami keberagaman.

Pengamat pendidikan HAR Tilaar mengatakan, gesekan-gesekan sosial sering terjadi sebagai konsekuensi masyarakat Indonesia yang semakin tidak mengenal budaya Nusantara. Pendidikan nasional tidak lagi memperkuat kebudayaan bangsa yang seharusnya diajarkan di sekolah. Ini terjadi karena pemerintah tak lagi menyatukan kedua unsur itu dalam satu departemen: pendidikan dan kebudayaan. Tilaar menegaskan perlunya memperkuat pendidikan multikulturalisme di sekolah. Upaya itu penting untuk membentuk generasi muda yang mampu menghargai perbedaan budaya, agama, dan suku, serta keragaman lainnya. ”Pendidikan yang didesentralisasikan justru bisa mengancam. Bagaimana mau menyatukan bangsa Indonesia kalau guru terpaku di satu daerah. Ini karena guru sekarang jadi milik bupati atau wali kota,” katanya. Setelah berbagai konflik melanda Indonesia berlatar belakang perbedaan agama dan suku, guru-guru mulai menyadari pentingnya membekali siswa dengan pendidikan damai.

Pendidikan damai

Seperti di Sulawesi Tengah dan Maluku, guru-guru yang difasilitasi World Vision Indonesia melalui Wahana Visi Indonesia (WVI) mengembangkan pendidikan damai yang dinamakan pendidikan harmoni. ”Pendidikan harmoni merujuk dari pendidikan damai. Kami ingin memastikan nilai-nilai perdamaian, kemanusiaan, hak asasi manusia, multikulturalisme, dan perlindungan anak terintegrasi dalam kurikulum SD,” kata Frida Siregar, staf WVI untuk Pendidikan Damai Wilayah Sulawesi dan Maluku. Pendidikan harmoni lahir dari semangat penyatuan dalam keberagaman. Kompetensi nilai harmoni yang dikembangkan adalah harmoni diri (tanggung jawab, keyakinan pada ajaran agama, kepercayaan); harmoni sesama (penghargaan, kejujuran, kepedulian); serta harmoni alam (ramah lingkungan, melindungi, kewarganegaraan). Menurut Frida, dari hasil penelitian awal WVI di Palu dan Poso tahun 2009 ditemukan bahwa pemahaman akan perbedaan suku dan agama yang ada di masyarakat masih lemah. Masih ditemukan anak dengan agresivitas tinggi, rasa dendam, dan enggan berinteraksi dengan teman yang berbeda agama. Di Palu, 35 persen anak menyatakan tidak mau berteman dengan mereka yang berbeda agama dan 14,2 persen tidak tahu. Di Poso, 10,8 persen anak tidak mau berteman dan 15 persen tidak tahu.

Sumber: Kompas.com, 06-10-2010

Followers